Kelas VI Pendidikan Agama Islam
Kisah Kejujuran Seorang Gadis Penjual Susu
Kisah
Kejujuran Seorang Gadis Penjual Susu. Menemukan teman atau seorang pekerja yang
jujur di zaman saat ini mungkin terasa sulit, mengingat kondisi bangsa saat ini
sedang carut marut terutama dalam masalah korupsi yang tak kunjung habisnya,
tapi sahabat jangan salah karena sebenarnya juga masih banyak orang – orang
yang jujur yang teguh dengan kejujurannya. Nah berbicara tentang kejujuran, yuk
kita simak kisah berikut ini semoga dapat menjadi inspirasi pembaca sekalian.
Kisah
Kejujuran Seorang Gadis Penjual Susu
Khalifah
Umar bin Khattab sering melakukan ronda malam sendirian. Sepanjang malam ia
memeriksa keadaan rakyatnya langsung dari dekat. Ketika melewati sebuah gubuk,
Khalifah Umar merasa curiga melihat lampu yang masih menyala. Di dalamnya
terdengar suara orang berbisik-bisik.
Khalifah
Umar menghentikan langkahnya. Ia penasaran ingin tahu apa yang sedang mereka
bicarakan. Dari balik bilik Kalifah umar mengintipnya. Tampaklah seorang ibu
dan anak perempuannya sedang sibuk mewadahi susu.
“Bu,
kita hanya mendapat beberapa kaleng hari ini,” kata anak perempuan itu.
“Mungkin
karena musim kemarau, air susu kambing kita jadi sedikit.”
“Benar
anakku,” kata ibunya.
“Tapi
jika padang rumput mulai menghijau lagi pasti kambing-kambing kita akan gemuk.
Kita bisa memerah susu sangat banyak,” harap anaknya.
“Hmmm…..,
sejak ayahmu meninggal penghasilan kita sangat menurun. Bahkan dari hari ke
hari rasanya semakin berat saja. Aku khawatir kita akan kelaparan,” kata
ibunya.
Anak
perempuan itu terdiam. Tangannya sibuk membereskan kaleng-kaleng yang sudah
terisi susu.
“Nak,”
bisik ibunya seraya mendekat. “Kita campur saja susu itu dengan air. Supaya
penghasilan kita cepat bertambah.”
Anak
perempuan itu tercengang. Ditatapnya wajah ibu yang keriput. Ah, wajah itu
begitu lelah dan letih menghadapi tekanan hidup yang amat berat. Ada rasa
sayang yang begitu besar di hatinya. Namun, ia segera menolak keinginan ibunya.
“Tidak,
bu!” katanya cepat.
“Khalifah
melarang keras semua penjual susu mencampur susu dengan air.” Ia teringat
sanksi yang akan dijatuhkan kepada siapa saja yang berbuat curang kepada
pembeli.
“Ah!
Kenapa kau dengarkan Khalifah itu? Setiap hari kita selalu miskin dan tidak
akan berubah kalau tidak melakukan sesuatu,” gerutu ibunya kesal.
“Ibu,
hanya karena kita ingin mendapat keuntungan yang besar, lalu kita berlaku
curang pada pembeli?”
“Tapi,
tidak akan ada yang tahu kita mencampur susu dengan air! Tengah malam begini
tak ada yang berani keluar. Khalifah Umar pun tidak akan tahu perbuatan kita,”
kata ibunya tetap memaksa.
“Ayolah,
Nak, mumpung tengah malam. Tak ada yang melihat kita!”
“Bu,
meskipun tidak ada seorang pun yang melihat dan mengetahui kita mencampur susu
dengan air, tapi Allah tetap melihat. Allah pasti mengetahui segala perbuatan
kita serapi apa pun kita menyembunyikannya, “tegas anak itu. Ibunya hanya
menarik nafas panjang.
Sungguh
kecewa hatinya mendengar anaknya tak mau menuruti suruhannya. Namun,jauh di
lubuk hatinya ia begitu kagum akan kejujuran anaknya.
“Aku
tidak mau melakukan ketidakjujuran pada waktu ramai maupun sunyi. Aku yakin
Allah tetap selalu mengawasi apa yang kita lakukan setiap saat,”kata anak itu.
Tanpa
berkata apa-apa, ibunya pergi ke kamar. Sedangkan anak perempuannya
menyelesaikan pekerjaannya hingga beres.
Di
luar bilik, Khalifah Umar tersenyum kagum akan kejujuran anak perempuan itu.
”
Sudah sepantasnya ia mendapatkan hadiah!” gumam khalifah Umar. Khalifah Umar
beranjak meniggalkan gubuk itu. Kemudian ia cepat-cepat pulang ke rumahnya.
***
Keesokan
paginya, khalifah Umar memanggil putranya, Ashim bin Umar. Di ceritakannya
tentang gadis jujur penjual susu itu.
”
Anakku, menikahlah dengan gadis itu. Ayah menyukai kejujurannya,” kata khalifah
Umar. ” Di zaman sekarang, jarang sekali kita jumpai gadis jujur seperti dia.
Ia bukan takut pada manusia. Tapi takut pada Allah yang Maha Melihat.”
Ashim
bin Umar menyetujuinya.
***
Beberapa
hari kemudian Ashim melamar gadis itu. Betapa terkejut ibu dan anak
perempuan
itu dengan kedatangan putra khalifah. Mereka mengkhawatirkan akan ditangkap
karena suatu kesalahan.
”
Tuan, saya dan anak saya tidak pernah melakukan kecurangan dalam menjual susu.
Tuan jangan tangkap kami….,” sahut ibu tua ketakutan.
Putra
khalifah hanya tersenyum. Lalu mengutarakan maksud kedatangannya hendak
menyunting anak gadisnya.
“Bagaimana
mungkin?
Tuan
adalah seorang putra khalifah , tidak selayaknya menikahi gadis miskin seperti
anakku?” tanya seorang ibu dengan perasaan ragu.
”
Khalifah adalah orang yang tidak ,membedakan manusia. Sebab, hanya
ketawakalanlah yang meninggikan derajad seseorang disisi Allah,” kata Ashim
sambil tersenyum.
”
Ya. Aku lihat anakmu sangat jujur,” kata Khalifah Umar. Anak gadis itu saling
berpandangan dengan ibunya. Bagaimana khalifah tahu? Bukankah selama ini ia
belum pernah mengenal mereka.
”
Setiap malam aku suka berkeliling memeriksa rakyatku. Malam itu aku mendengar pembicaraan
kalian…,” jelas khalifah Umar.
Ibu
itu bahagia sekali. Khalifah Umar ternyata sangat bijaksana. Menilai seseorang
bukan dari kekayaan tapi dari kejujurannya.
***
Sesudah
Ashim menikah dengan gadis itu, kehidupan mereka sangat bahagia. Keduanya membahagiakan
orangtuanya dengan penuh kasih sayang. Beberapa tahun kemudian mereka
dikaruniai anak dan cucu yang kelak akan menjadi orang besar dan memimpin
bangsa Arab, yaitu Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Hikmah
dari kisah
Jujur
adalah sebuah ungkapan yang acap kali kita dengar dan menjadi pembicaraan. Akan
tetapi bisa jadi pembicaraan tersebut hanya mencakup sisi luarnya saja dan
belum menyentuh pembahasan inti dari makna jujur itu sendiri. Apalagi perkara
kejujuran merupakan perkara yang berkaitan dengan banyak masalah keislaman,
baik itu akidah, akhlak ataupun muamalah; di mana yang terakhir ini memiliki
banyak cabang, seperti perkara jual-beli, utang-piutang, sumpah, dan
sebagainya.
Jujur
merupakan sifat yang terpuji. Allah menyanjung orang-orang yang mempunyai sifat
jujur dan menjanjikan balasan yang berlimpah untuk mereka. Termasuk dalam jujur
adalah jujur kepada Allah, jujur dengan sesama dan jujur kepada diri sendiri.
Sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang shahih bahwa Rasulullah bersabda,
“Senantiasalah
kalian jujur, karena sesungguhnya kejujuran itu membawa kepada kebajikan, dan
kebajikan membawa kepada surga. Seseorang yang senantiasa jujur dan berusaha
untuk selalu jujur, akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang yang selalu
jujur. Dan jauhilah kedustaan karena kedustaan itu membawa kepada kemaksiatan,
dan kemaksiatan membawa ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan
selalu berdusta, hingga akhirnya ditulis di sisi Allah sebagai seorang
pendusta.”
Rasulullah
menganjurkan umatnya untuk selalu jujur karena kejujuran merupakan mukadimah
akhlak mulia yang akan mengarahkan pemiliknya kepada akhlak tersebut,
sebagaimana dijelaskan oleh beliau, “Sesungguhnya kejujuran membawa kepada
kebajikan.” Kebajikan adalah segala sesuatu yang meliputi makna kebaikan,
ketaatan kepada Allah, dan berbuat bajik kepada sesama.
Sifat
jujur merupakan alamat keislaman, timbangan keimanan, dasar agama, dan juga
tanda kesempurnaan bagi si pemilik sifat tersebut. Baginya kedudukan yang
tinggi di dunia dan akhirat. Dengan kejujurannya, seorang hamba akan mencapai
derajat orang-orang yang mulia dan selamat dari segala keburukan.
Kejujuran
senantiasa mendatangkan berkah, sebagaimana disitir dalam hadist yang
diriwayatkan dari Hakim bin Hizam dari Rasulullah, beliau bersabda, “Penjual
dan pembeli diberi kesempatan berfikir selagi mereka belum berpisah. Seandainya
mereka jujur serta membuat penjelasan mengenai barang yang diperjualbelikan,
mereka akan mendapat berkah dalam jual beli mereka. Sebaliknya, jika mereka
menipu dan merahasiakan mengenai apa-apa yang harus diterangkan tentang barang
yang diperjualbelikan, maka akan terhapus keberkahannya.”
Dalam
kehidupan sehari-hari kita dapati seorang yang jujur dalam bermuamalah dengan
orang lain, rezekinya lancar-lancar saja, orang lain berlomba-lomba datang
untuk bermuamalah dengannya, karena merasa tenang bersamanya dan ikut
mendapatkan kemulian dan nama yang baik. Dengan begitu sempurnalah baginya
kebahagian dunia dan akherat.
Tidaklah
kita dapati seorang yang jujur, melainkan orang lain senang dengannya,
memujinya. Baik teman maupun lawan merasa tentram dengannya. Berbeda dengan
pendusta. Temannya sendiripun tidak merasa aman, apalagi musuh atau lawannya.
Alangkah indahnya ucapan seorang yang jujur, dan alangkah buruknya perkataan
seorang pendusta.
Orang
yang jujur diberi amanah baik berupa harta, hak-hak dan juga rahasia-rahasia.
Kalau kemudian melakukan kesalahan atau kekeliruan, kejujurannya -dengan izin
Allah- akan dapat menyelamatkannya. Sementara pendusta, sebiji sawipun tidak
akan dipercaya. Jikapun terkadang diharapkan kejujurannya itupun tidak
mendatangkan ketenangan dan kepercayaan. Dengan kejujuran maka sah-lah
perjanjian dan tenanglah hati. Barang siapa jujur dalam berbicara, menjawab,
memerintah (kepada yang ma’ruf), melarang (dari yang mungkar), membaca,
berdzikir, memberi, mengambil, maka ia disisi Allah dan sekalian manusia
dikatakan sebagai orang yang jujur, dicintai, dihormati dan dipercaya.
Kesaksiaannya
merupakan kebenaran, hukumnya adil, muamalahnya mendatangkan manfaat, majlisnya
memberikan barakah karena jauh dari riya’ mencari nama. Tidak berharap dengan
perbuatannya melainkan kepada Allah, baik dalam shalatnya, zakatnya, puasanya,
hajinya, diamnya, dan pembicaraannya semuanya hanya untuk Allah semata, tidak
menghendaki dengan kebaikannya tipu daya ataupun khiyanat. Tidak menuntut
balasan ataupun rasa terima kasih kecuali kepada Allah.
Menyampaikan
kebenaran walaupun pahit dan tidak mempedulikan celaan para pencela dalam
kejujurannya. Dan tidaklah seseorang bergaul dengannya melainkan merasa aman
dan percaya pada dirinya, terhadap hartanya dan keluarganya. Maka dia adalah
penjaga amanah bagi orang yang masih hidup, pemegang wasiat bagi orang yang
sudah meninggal dan sebagai pemelihara harta simpanan yang akan ditunaikan
kepada orang yang berhak.
Seorang
yang beriman dan jujur, tidak berdusta dan tidak mengucapkan kecuali kebaikan.
Berapa banyak ayat dan hadist yang menganjurkan untuk jujur dan benar,
sebagaimana firman-firman Allah yang berikut,
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama
orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119)
Apabila kita sekalian mengamalkan sikap jujur dan benar dalam setiap ikhtiar kita, niscaya tidak akan ada kasus tabung gas meledak setiap hari, yang merenggut banyak nyawa orang-orang tak berdosa, insya Allah, wallahu ’alam.
Belum ada Komentar untuk "Kelas VI Pendidikan Agama Islam"
Posting Komentar